Recent Posts

Contributors

Pertama Kali Travelling, Mengurus Izin Tinggal Enam Hari di Kantor Pusat Imigresen Malaysia (Part 4)

Saturday 2 November 2019
Bersama Miss Yet di Putrajaya


Alunan suara khas Marc Anthony dan Tina Arena dalam "I want to spent my lifetime loving you" mencoba membentuk jangkar ingatan perjalanan menggunakan bus dari terminal Putra Jaya sentral menuju kantor Imigrasi pusat Malaysia di Putra Jaya. Untuk sampai di terminal Putra Jaya Sentral., kami menumpang train KLIA Transit dari KL Sentral. Kereta api yang bergerak cepat ini membuat saya benar-benar tidak sadar jika sedang dalam perjalanan mengurus kepulangan ke Indonesia.

Dari Putra Jaya Sentral, saya hanya berdua dengan Miss Yet melanjutkan perjalanan ke kantor Imigrasi Malaysia yang berada di pusat administrasi di jantung Putra Jaya, Cyber City. Putra Jaya menggantikan posisi Kuala Lumpur sebagai pusat pemerintahan Malaysia pada 19 Oktober 1995. Kota ini disulap menjadi sebuah kota dengan bangunan dan jalan raya yang megah. Dibangun di atas lahan yang gambut, Putra Jaya bisa menjadi model kesuksesan Malaysia mewujudkan kota yang jauh dari kejenuhan.

Mata saya terus tertuju kepada bangunan rendah bertingkat di kiri-kanan jalan utama dengan tulisan huruf dipadukan nomor. Bus berhenti di setiap palang yang bertuliskan huruf-nomor tersebut. Kali ini, bus pun berhenti di E20. Dari sejak tadi di Terminal Putra Jaya Sentral kami hanya bertiga di dalam bus, ditambah satu lagi drivernya. Bus berangkat dari Putra Jaya Sentral tepat pada pukul yang tertera pada papan LED. "Seberapa besar gaji mereka ya?" tanya saya dalam hati. Kami hanya membayar 30 sen per orang.

Bus kemudian berhenti tepat di depan sebuah gedung bertuliskan "Jabatan Imigresen Malaysia". Jika kemarin saya merasakan rasa cinta tanah air saat berada di kedubes Indonesia, di sini saya merasa seperti mendapat undangan makan malam. Gedung yang nyaman, tidak ada keriuhan. Kami menuju lantai tiga menggunakan lift. Di sana sudah duduk orang dengan berbagai warna kulit di kursi antrian. Mereka mungkin saja memiliki masalah seperti saya. Yang jelas ruangan ini sangat nyaman.


Jalan di Putra Jaya yang tertata rapi



Setelah menunggu 30 menit, kami dipanggil ke counter 15. Berdiri seorang berkulit sawo matang dengan bentuk wajah oval. Jelas air mukanya menunjukkan bahwa ia keturunan melayu.

"Ada yang bisa saya saya bantu?" Tanyanya dalam bahasa Melayu.

Mulailah Miss Yet menjelaskan masalah yang saya hadapi kepada pria tadi. Saya hanya berdiri diam dengan sesekali anggukan iya. Miss Yet meminta visa stay di Malaysia selama 6 hari untuk saya. Beliau beralasan bahwa kami pergi berombongan dan sudah memesan tiket pulang - pergi.

"Encik boleh pay RM 150 saje" katanya kemudian.

Miss Yet memandang ke arah saya. Saya kemudian mengambil telepon genggam kemudian menelepon kakak. Kami tidak membawa biaya yang besar untuk perjalanan ini. Mungkin kami harus menunda beli oleh-oleh agar saya bisa tetap berada di Malaysia. Saya kemudian setuju dengan jumlah yang harus dibayar tersebut. Saat itu nilai konversi Ringgit Malaysia ke Rupiah Indonesia sebesar Rp. 3.300,- .

Kemudian Miss Yet bertanya tentang kebolehan paspor pemulangan saya tersebut digunakan untuk masuk ke Singapura. Pegawai imigrasi tersebut meragukannya. Imigrasi Singapura lebih ketat dari Malaysia. Mereka zero tolerance terhadap pendatang gelap atau yang tidak melengkapi syarat untuk masuk ke Singapura. Dari cerita pegawai imigrasi tersebut, tentang seorang mahasiswa yang nekat untuk masuk Singapura menggunakan paspor pemulangan tersebut akhirnya saya mengurungkan niat untuk ikut rombongan ke Singapura.

Hari sudah mulai sore. Bulatan matahari yang terpantul dari danau buatan Putra Jaya sangat indah. Tapi hal itu tidak bisa mengalihkan pikiran saya dari gagalnya usaha untuk ikut ke Singapura besok pagi. Syukurlah masih bisa tinggal di Malaysia hingga tanggal yang tertera pada tiket yang telah kami pesan. Namun, saya harus bersabar untuk tinggal di asrama UM di lantai 6 selama dua hari. Mama memutuskan untuk tidak ikut juga ke Singapura. Kami berdua tinggal, hanya turun ke bawah ke kantin kampus untuk membeli makanan.

Sepanjang perjalanan saya hanya duduk diam. Raut muka Miss Yet pun agak berbeda. Mungkin beliau kelelahan, atau sudah jengkel dengan saya. Saya tidak berani untuk menanyakan apapun. Kehidupan malam Kuala Lumpur tampak dari jendela KLIA Transit yang kami tumpangi. Suara pengumuman bahwa sudah tiba di KL Sentral terdengar dari speaker kereta api cepat itu. Kami segera turun dan melanjutkan perjalanan ke stasiun Mid Valley menggunakan KTM Komuter. Dan menimpangi bus untuk sampai ke Universiti Malaya di Petaling Jaya.

Bersambung

Pagi itu Bu Des bercerita kepada mama bahwa Miss Yet ngomel karena kelelahan mengurus urusan visa saya

Baca Part 5 di sini

No comments:

Post a Comment