Recent Posts

Contributors

Kedua Kali Traveling, Mulai Bangga Dengan Pakaian Adat Aceh yang Saya Pakai Seharian di Malaysia (Chapter 4)

Saturday 9 November 2019
Di KL Sentral, seorang anak perempuan mengajak ibunya untuk berfoto bersama kami




Pukul enam pagi kami sudah bangun. Hari ini Sabiran Gibran, sahabatnya bang Ajir akan menemani kami untuk mengunjungi Muzium Negara Malaysia. Sabiran Gibran adalah mahasiswa pasca sarjana Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Jika dilihat sekilas, dia seperti orang melayu asli. Berambut lurus, kulit putih, dan muka oval. Dia akan menunggu kami langsung di Muzium Negara. Beliau tidak lagi pergi ke Damansara untuk pergi ke Muzium Negara bersama kami.

Hari itu, Munir juga ingin ikut. Dia meminta izin kepada kawannya untuk cuti kerja. Munir menjadi kasir di kedai runcit milik abangnya. Dia bekerja bersama dua orang lainnya. Kami sudah siap dengan pakaian adat Aceh dan kupiah meukeutop. Ini merupakan pertama kali saya memakai pakaian adat seperti anggota Komunitas Pakaian Adat Aceh lainnya. Saya merasa sangat nervous dan tidak nyaman. Berbeda dengan yang lain, mereka merasa nyaman karena sudah terbiasa dengan hal tersebut.

Dua masalah sekaligus bagi saya. Pertama kali memakai pakaian adat Aceh dengan kupiah meukeutop yang lumayan berat di kepala juga memakainya di negeri orang. Perjalanan yang saya bayangkan akan seru bersama orang-orang baru ini justru membuat saya kurang nyaman. Munir terlihat sedang berbicara dengan supir taksi langganannya melalui telepon genggam. Tiba-tiba dua taksi berhenti tepat di depan rumah. Seperti tadi malam, saya naik setaksi dengan ibu dan kakak.

Setelah meninggalkan Damansara, supir taksi tiba-tiba bertanya.

Di Sigli dipat ureung droen buk? (Di Sigli ibu tinggal di mana?)

Kami terkejut mendengar supir taksi tersebut berbicara dalam bahasa Aceh. Pada perjalanan sebelumnya kami juga mengalami hal yang sama. Saat "Pertama Kali Traveling", kami menumpang taksi dari stasiun Gombak ke Batu Caves. Setelah tawar menawar yang cukup lama, akhirnya kami menyepakati harga taksi dengan supirnya. Di dalam taksi kami menggunjing supir yang sedikit pelit itu dalam bahasa Aceh. Kami mengira dia tidak akan paham apa yang kami bicarakan. Saat tiba di Batu Caves, beliau memerintahkan kami.

Dek, tren rap wie mantong! bek di peupok le moto laen. (Dik, turun sebelah kiri saja, jangan ditabrak mobil lain)

Jleb, rupanya beliau orang Sigli, Aceh. Kami sangat mau karena membicarakannya di dalam taksi tadi. Pasti semua yang kami omongin beliau tau. Peristiwa yang sama terjadi hari ini, kami menumpang taksi milik orang Sigli lagi. Beliau bercerita sudah sepuluh tahun lebih menjadi supir taksi di Malaysia. Beliau kemudian memuji kami karena berani memakai pakaian adat Aceh bahkan di negeri orang. Sebuah kebanggaan mendengar hal tersebut.

Dengan pakaian adat Aceh di pusat keramaian, KL Sental



Tiba-tiba saya merasa percaya diri dengan pakaian ini. Namun masih juga belum kisa sepenuhnya bisa menerima kenyataan bahwa kami memakainya dari sejak berangkat dari rumah hingga nanti balik ke Damansara. Mempertahankan budaya dengan cara mempromosikannya secara nyata memang susah ya. Betapa perjuangan kawan-kawan Komunitas Pakaian Adat Aceh ini mempopulerkan pakaian adat Aceh kepada pemuda-pemudi di Pidie dan Banda Aceh.

Kami akhirnya tiba di Muzium Negara. Di Sana sudah menunggu Sabiran. Bersamaan dengan taksi kami, sebuah bus double deckker dengan atap terbuka juga tiba di Muzium Negara. Bus tersebut membawa sekitar lima puluhan wisatawan dari Tiongkok.

Bersambung

Baca Chapter 5 di sini

No comments:

Post a Comment