Recent Posts

Contributors

Kedua Kali Traveling, Tidak Jelas Menginap Dimana Hingga Sudah Tiba Di Malaysia (Chapter 3)

Thursday 7 November 2019
Suasana Malam di KL Sentral



Di dalam pesawat, kami memilih tidak menggunakan pakaian adat Aceh. Hal ini demi kelancaran perjalanan kami dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda ke Bandara KLIA 2. Saat itu penerbangan Low Cost sudah dipindahkan dari LCCT ke KLIA 2.

Bandaranya jadi lebih besar dan mewah. Saat di bandara Sultan Iskandar Muda, kami bisa dengan cepat menjalani proses di bagian imigrasi Bandara karena membawa surat undangan acara yang diadakan oleh HIKMAH Malaysia. Tapi, kakak ditahan. Kami mulai bingung. Paspor kakak enam bulan lagi akan habis masa. Persyaratannya, tidak boleh melakukan perjalanan lagi jika masa aktif paspor hanya tersisa enam bulan dihitung dari masa penerbangan. Bagaimana jika kakak tidak bisa ikut?

Kami menunggu dengan perasaan khawatir. Kakak sedang berada di dalam ruangan imigrasi bandara Sultan Iskandar Muda. Lima belas menit kemudian, kakak keluar. Kami langsung melemparkan pertanyaan seperti suasana saat dokter keluar dari kamar pasien.

Hana peu, kabereh! kupeugah nyoe perjalanan penting, membawa nama Aceh ke luar negeri. (tidak apa-apa, saya bilang ini perjalanan penting, membawa nama Aceh ke luar negeri)

Kakak memang seorang wanita yang sangat santai dan tegar. Ketika SD dulu, kakak pernah mengikuti lomba cerdas cermat antar SD di Kabupaten Pidie. Kakak keluar sebagai juara mewakili SDN 3 Sigli dan berkesempatan mewakili Kabupaten Pidie untuk bersaing ditingkat provinsi di Banda Aceh. Anehnya, mama tidak pernah tau dengan lomba ini. Kakak hanya minta izin pulang sekolah agak sore dengan alasan mengikuti les. Mama tau ketika kepala sekolah datang ke rumah untuk meminta izin dan mengajak mama sebagai pendamping untuk mengikuti perlombaan di Banda Aceh.

Dia melamar sekolah sendiri. Mulai dari SMP, SMA, hingga kuliah. Kakak sangat mandiri. Berbeda dengan saya yang agak takut untuk melakukan semuanya sendiri. Kami kemudian menuju ruang tunggu. Pembahasan mengenai penginapan baru di bahas di ruang tunggu. Ini merupakan perjalanan gila yang saya ikuti. Bang Ajir kabarnya sudah menghubungi kawannya di Damansara untuk tumpangan penginapan. Kawannya itu punya dua kamar kosong, karena abang iparnya sudah pulang ke Aceh. Namun komunikasi hanya sebatas Facebook Messenger dua minggu lalu sebelum keberangkatan.

Sontak saja kakak memarahi bang Ajir yang saat itu masih jadi pacarnya. Bang Ajir seorang yang penyabar dan tidak banyak bicara. Tapi dia memiliki kawan dimana-mana. Perjalanan ini saja terjadi berkat kontribusinya, mulai dari membeli tiket hingga menuju acara dan penginapan. Mulai dari ruang tunggu hingga tiba di bandara KLIA 2, kakak tidak berhenti mengomeli bang Ajir. Bang Ajir dengan sabar menjawab

Tapreh dilee, golom dibalah pesan. (Kita tunggu dulu, belum dibalas pesannya)

Kami tiba di Bandara KLIA 2 pukul 14.55 waktu Malaysia. Menempuh perjalanan lebih kurang dua jam ke KL Sentral, sebelum tiba di One Utama. Kami menumpang bus menuju ke KL Sentral. Suasana malam di jalanan Petaling Jaya membuat kami tertidur. Apalagi diiringi dengan lagu melayu yang mendayu-dayu. Akhirnya tiba juga di KL Sentral. KL Sentral adalah pusat perhentian semua transportasi darat di Kuala Lumpur. Kami turun dan mengambil tas dari bagasi bus.

Cek Nadri kemudian terlihat bingung sambil merogoh sesuatu ke dalam saku celana.

Hp lon hana le! (Handphone saya hilang)

Tadi memang dia tertidur pulas dan kemungkinan besar handphonenya jatuh dari saku celana ke lantai bus. Saat melihat kembali ke dalam bus yang kebetulan masih parkir di KL Sentral, tidak ada apa-apa lagi. Drivernya memohon maaf sebesar-besarnya untuk kejadian ini. Tapi memang dia tidak melihat ada hp yang jatuh di lantai bus. Yasudah, Cek Nadri sudah pasrah. Sekarang dia hanya bisa meminta bantuan Baya untuk menghubungi istrinya bahwa kami sudah tiba di Malaysia dengan selamat.

Pesan yang dikirim terakhir kali oleh bang Ajir belum juga di balas oleh kawannya. Terakhir kali kami dipandu untuk naik bus lagi dari KL Sentral dan turun di One Utama. Kakak sudah emosi. Sudah hampir tengah malam, belum juga ada kejelasan dimana kami akan menginap. Kami hanya dibimbing melalui Facebook Messenger dari suatu tempat ke tempat berikutnya. Bagaikan mencari Holy Grail dalam novel The da Vinci Code. Bang Ajir dengan gayanya yang biasa tetap santai, tidak satupun kata yang keluar dari mulutnya. Pembawaan bang Ajir memang begitu. Dia sangat sabar hingga bisa membuktikan sesuatu kepada orang yang meragukannya.

Setelah setengah jam kami mengantri taksi di One Utama, akhirnya kami melanjutkan perjalanan yang belakangan kami ketahui itu adalah Sungai Penchala, Damansara. Saya, mama, dan kakak berada di taksi kedua. Bang Ajir hanya mengatakan kepada supir untuk mengikuti taksi di depan yang ditumpangi bang Say, Baya, Cek Nadri, dan bang Ajir.

Di dalam taksi, mama menasehati kakak supaya jangan emosi kepada bang Ajir didepan umum. Bagaimana nanti jika sudah menikah? kakak hanya diam dengan wajah cemberut. Tepat pukul dua belas malam, kami tiba di rumah Munir, sahabat dekat bang Ajir saat di pesantren MIKA dulu. Kami dipersilakan masuk. Munir langsung memberi arahan untuk kami agar segera beristirahat ke kamar yang sudah disediakan. Tetapi kami memilih untuk menikmati segelas kopi terlebih dahulu yang baru saja diseduh oleh Baya dan bang Say.

Kami bercerita banyak hal sambil bersenda gurau. Cek Nadri telah melupakan handphonenya yang hilang. Kakak kembali ceria, kami tertawa bersama Munir hingga siaran Astro di televisi LCD setia menemani kami sampai pagi. Cek Nadri, Munir, dan bang Ajir memilih tidur di ruang tamu tempat televisi berada.

Perjalanan yang asyik mulai tampak sejak kami tiba di rumah Munir. Rupanya menilai orang lain dengan sekilas perjumpaan jelas salah satu cara yang salah. Kamu harus terlebih dahulu mengajaknya melakukan sebuah perjalanan bersama. Di sana kamu akan tau betapa menyenangkan mereka.

Bersambung

Baca Chapter 4 di sini


No comments:

Post a Comment