Recent Posts

Contributors

Kedua Kali Traveling, Menghadiri Majelis Guru-Guru Silat Malaysia (Chapter 6)

Sunday 10 November 2019



Di PWTC, hanya sebagai titik kumpul kami sebelum menghadiri acara Majelis Guru-Guru Seni Beladiri Malaysia di gedung Kraft Tangan. Bang Razi telah menunggu di sana bersama bang Zamhari. Mohammad Zamhari Nizar, begitu nama panjang beliau. Bang Zamhari bekerja sehari-hari di perpustakaan negeri Malaysia. Beliau aktif membuat kelas membaca bahasa melayu jawi.

Di PWTC saat itu sedang diadakan acara Book Expo: International Book Conference dan bang Zamhari mendapat kesempatan untuk mendirikan stand di sana. Saya tidak menyangka rupanya bang Razi saat itu juga memakai pakaian adat Melayu. Beliau adalah lulusan Oxford Unversity, Inggris dengan mengambil jurusan Matematika dan pernah bekerja sebagai wartawam di News Straith Times, Malaysia.

Gedung Kraft Tangan


Bang Razi mulai mengenakan pakaian adat Melayu setelah terilham suatu malam. Beliau bermimpi seolah-olah mendapat tugas untuk mencari kembali kejayaan melayu hingga ke negeri Portugal. Hingga sekarang, bang Razi mengelola komunitas HIKMAH yang aktif mensosialisasikan budaya, sejarah, dan pakaian adat Melayu. Sama seperti Komunitas Pakaian Adat Aceh, HIKMAH juga mempromosikan pakaian adat Melayu dengan cara mengenakannya kemanapun mereka pergi.

Kami berkenalan dengan bang Zamhari dan melihat-lihat buku yang terpajang di standnya. Banyak kitab-kitab melayu jawi karangan ulama nusantara dipajang di sana. Ada juga buku sejarah Hang Tuah. Setelah berkeliling di area Book Expo tersebut, kami di ajak untuk menyantap makan siang yang ada di balkon luar PWTC. Makan siang ini memang gratis untuk penjaga stand. Kami sebagai tamu dari jauh mendapat keistimewaan untuk mencoba masakan khas Malaysia.

Persembahan Silat Melayu



Saat kami sedang menyantap makan siang dengan sajian ikan tongkol yang sudah dihilangkan tulangnya, tiba-tiba dari arah pintu utama muncul sosok wanita tinggi langsing. Beliau adalah istri bang Razi, Kak Nor Afidah Yusof. Kak Nor rupanya membawa tambahan mobil Proton untuk mengantar kami dari PWTC ke gedung Kraft Tangan. Kak Nor adalah contoh wanita melayu asli. Perawakannya yang tinggi langsing juga murah senyum dan sangat ramah.

Kami langsung dibagi dalam dua mobil Proton. Satu dikendarai oleh bang Razi, satu lagi oleh Kak Nor. Kak Nor ini sangat gesit dan cerdas. Dari gaya bicaranya kelihatan bahwa beliau wanita berpendidikan tinggi. Sangat cocok dengan bang Razi. Lima belas menit berkendara dari PWTC, kami tiba di gedung Kraft Tangan. Dari luar, tidak kelihatan ada acara apa-apa. Sesampai di dalam, kami disambut bak tamu kenegaraan. Di sana, sebagian besar pengunjung yang hadir memakai pakaian adat Melayu. Pantas kami di undang ke acara ini, batin saya.

Acara terlihat sangat sederhana. Ada pertunjukan silat dengan berbagai aliran. Kemudian, Baya pun diminta untuk mempersembahkan gaya silat Acehnya. Baya memang memiliki ilmu silat. Dia belajar dari Cek Nadri. Rupanya, hal yang terkadang tidak diterima di daerah sendiri begitu berharga pada orang lain. Saya sangat menaruh apresiasi pada acara ini. Saya merasa bersalah saat menghakimi Komunitas Pakaian Adat Aceh tanpa bergelut dengan mereka. Jasa mereka membawa nama Aceh ke luar negeri seperti ini rupanya hal luput dari tabayyun saya sebelum menghakimi mereka.

Pengunjung Acara



Kami diwawancara satu persatu oleh wartawan Malaysia. Mereka sangat senang melihat saudara lama yang mewakili Sultan Iskandar Muda kembali dengan pakaian adatnya. Kami bak artis hari itu. Setelah menjadi duta Muzium dadakan, sekarang diwawancara sana-sini. Saya pikir, asik juga pakai baju adat Aceh di luar negeri. Tidak dianggap aneh, bahkan jadi sesuatu yang dihargai.

Saya kemudian mengajak mama keluar gedung untuk mencari gorengan. Hari baru saja turun hujan. Kopi dengan gorengan sepertiny adalah makanan yang dinanti. Spontan saja mama bertanya.

na dimukat pisang gureng man di sinoe? (emangnya ada dijual pisang goreng sekitar sini?)

Benar juga, gedung Kraft Tangan ini terletak di deretan gedung-gedung mewah yang jalannya bersih juga tidak terdapat pedagang kaki lima. Ketika saya bertanya kepada kakak, dia tertawa. Mana ada gorengan di sini, katanya. Sayapun ikut tertawa. Indahnya adalah ketika kamu bisa tertawa bersama keluarga. Walaupun di tempat yang bukan rumahmu.

Bersambung

No comments:

Post a Comment