Recent Posts

Contributors

Ilmu Sebagai Pengantar Ibadah | Sebuah Refleksi Pengajian Ramadan Bersama Tgk H Ismail (Ayah Caleue)

Wednesday 20 May 2020


                


Hampir beberapa kali saya mengurungkan niat untuk menulis tulisan ini. Pertama, karena sejak tadi subuh, 27 Ramadan 1441 H, pikiran saya dipenuhi dengan cerita seorang teman tentang seseorang yang dikeramatkan oleh masyarakat. Ilmu tasawuf telah banyak disalahpahami oleh sebagaian besar masyarakat zaman ini. Tasawuf seolah-olah hanya soal keramat dan punya kekuatan supranatural yang tidak biasa pada kehidupan sehari-hari manusia. Saya tidak akan bercerita tentang perihal keramat (karamah atau kemuliaan)  tersebut di sini.

Kedua, saya melihat kecenderungan beragama masyarakat yang fokus pada mencitrakan tanda-tanda lebih daripada mengalami kedalaman (deepness) memahami unsur-unsur ilmu pengetahuan yang luas. Masyarakat beragama juga sudah dengan sangat cepat berpindah dari ibadah yang bersifat gotong-royong kepada ibadah yang sangat individual (pokoknya saya harus masuk surga, tidak peduli orang lain). Jikapun muncul pada kenyataan ibadah sosial, iming-iming pahala individual tetap dominan pada narasinya. Misalnya, ketimbang menyebutkan "bersama-sama membahagiakan saudara kita", kita lebih senang menambahkan "supaya kita mendapatkan pahala Ramadan yang berlipat ganda". Tidak ada salahnya dalam kalimat ini, tapi jika itu terus-menerus muncul, cara beragama kita akan berubah ke arah yang sangat individual dan menghilangkan rasa gotong royong terhadap sesama manusia.

Cara beragama yang sangat indiviual ini (hanya berharap imbalan pahala yang berlipat ganda) membawa seseorang untuk fokus kepada beribadah sebanyak-banyaknya tanpa menyisakan waktu untuk memikirkan kedalaman dari ibadah itu sendiri. Shalat tarawih yang penting ada setiap malam, tanpa keinginan merenung setiap makna dari ayat dan kalimat yang kita baca di dalamnya. Ini adalah penyebab terbesar berpindahnya kecenderungan masyarakat dari mengkaji teks-teks ilmu agama dalam turats maupun kitab kontemporer kepada ritual-ritual ibadah praktis dalam agama. Kembali kepada keramat tadi. Ketakjuban masyarakat kepada kemampuan supranatural (disertai dengan acuh terhadap verifikasi keilmuan seseorang) ini juga disebabkan oleh pengejaran akan pahala individual yang berlipat ganda, tanpa ingin memulainya dari memahami (belajar) ilmu tentang suatu ibadah tertentu secara mendalam. Mereka menganggap kemampuan supranatural itu adalah sesuatu dari hasil dari ibadah individual yang tidak henti-hentinya, dan menganggap itulah puncak dari keberagamaan seseorang.

***

 Selama lebih kurang dimulai dari sepuluh tahun yang lalu, setiap bulan Ramadan, saya mengikuti pengajian Tgk H Ismail (Ayah Caleue) di Pesantren Bustanul Ulum Diniyah Islamiyah Tungkop, Kabupaten Pidie. Tahun pertama saya, saat itu beliau mengasuh pengajian kita Waraqat (ushul fiqh) dan Idhahul Mubham (mantiq). Pengajian diikuti oleh santri yang tidak balik ke kampung halaman. Tahun kedua, beliau mengasuh pengajian kitab tafsir Jalalain dan Minhajul Abidin (Imam Al-Ghazali). Tahun-tahun berikutnya, setiap Ramadan, beliau terus mengasuh pengajian kitab Minhajul Abidin ( menggunakan niskhah yang ada syarahan dari Syeikh Ihsan Dahlan Kediri, Sirajut Thalibin). Hingga tahun ini kitab itu menjadi pilihan beliau dalam mengajar di bulan Ramadan. Ada pada suatu Ramadan terselip pengajian kitab Sabilal Muhtadin.

Bukan tidak menyadari, seorang Tgk H Ismail (berikutnya akan saya sebut Ayah) yang sehari-harinya mengajar di pondok pesantren yang dipimpinnya itu, tentu saja paham betul bagaimana kelebihan bulan Ramadan. Beliau memilih untuk mengajar, sembari mengulang-ngulang kitab Minhajul Abidin setiap tahunnya di bulan Ramadan, sebagai momentum membersihkan diri. Kitab Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali ini boleh dibilang merupakan "buku saku" yang sepatutnya selalu dilihat kembali oleh orang yang menyukai ibadah kepada Allah SWT. Karena didalamnya mengandung semacam pengantar untuk mencapai kedalaman dari beribadah. Pernyataan saya bukan tanpa dasar.

Suatu subuh dalam bulan ini, ketika akhir dari pembahasan didalam sebuah bab 'awa-iq, Ayah berujar, "Kita selalunya membaca peringatan Al-Ghazali akan segala yang menghalangi kita kepada beribadah, tetapi kita selalunya pula tidak mengindahkannya. Tetapi, semoga dengan mengulang-ulang terus pengajian kitab ini, suatu saat kita dapat mengamalkan sepenuhnya ilmu ini". Ucapan Ayah ini menunjukkan secara bersamaan sifat tawadhu'nya terhadap ilmu juga kepada hadirin yang menghadiri pengajian. Bagaimana tidak, beliau membacakan kitab tersebut bukan hanya untuk hadirin, tetapi terutama sekali kepada dirinya sendiri, tanpa ada pengakuan, "semoga ini bermanfaat bagi saya, dan hadirin sekalian". Sekali lagi, Ayah menempatkan diri bersama dengan hadirin dalam upaya membersihkan hati dengan cahaya ilmu pada bulan yang suci.

Pilihan tersebut tentu saja tidak membuat kita bisa berasumsi bahwa beliau meninggalkan berbuat ibadah yang utama di bulan Ramadan, seperti; shalat tarawih dan membaca Al-Quran.Tetapi memang dari pilihan beliau tersebut dapat kita buat kesimpulan bahwa ilmu adalah jalan yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah (beribadah), bahkan ilmu itu sendiri adalah ibadah. Kedalaman (deepness) beribadah hanya dapat diperoleh dengan cara menuntut ilmu. Mengisi tong-tong perbekalan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Karena ilmu itu adalah keramat yang sesungguhnya. Saat masih di sekolah dasar, saya sempat bingung dengan mukjizat para Nabi. Di saat Nabi lain mempunyai mukjizat yang luar biasa, Nabi Muhammad SAW yang notabene adalah kekasih Allah hanya disebutkan mukjizatnya adalah Al-Quran. Sekarang baru saya punya kesimpulan bahwa Al-Quran yang mengandung ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, merupakan mukjizat yang luar biasa bagi peradaban umat manusia.

***

Salah satu dari tanda hilangnya kedalaman dalam beragama adalah tereduksinya teks-teks dari berbagai ilmu pengetahuan yang seharusnya dipelajari secara teliti dan seksama kepada kutipan-kutipan singkat (quotes). Ini menjadi penanda hilangnya kedalaman dalam keberagamaan. Daripada memilih mempelajari teks-teks tersebut secara utuh dan mengelaborasinya kepada makna yang lebih luas, kita lebih memilih menjadikannya sebagai nasehat-nasehat semu yang beredar di media sosial, yang kemudian hilang digantikan oleh kutipan yang lain. Peredaran kutipan-kutipan tersebut terjadi sangat cepat hingga tidak dapat dengan lama kita bisa merenungkannya barang sesaat.

Kecepatan dalam hal ibadah pun terjadi seperti demikian. Saat bulan Ramadan, berbagai momentum muncul dan dengan sigap kita melaluinya dengan penanda-penanda semu hingga akhirnya hilang digantikan oleh momentum yang lain. Momentum awal Ramadan, malam nuzulul Quran, malam Lailatul Qadar, juga i'tikaf pada malam-malam terakhir bulan Ramadan, hanya dilewati dengan penanda-penanda dalam bentuk citra untuk menandakan keberadaannya. Tanpa dipahami secara mendalam momentum-momentum tersebut hingga kita mengalami kedalaman dalam beribadah.

***

Mendekati hari raya Idul Fitri, ibadah berubah menjadi komoditas yang lebih dangkal. Ia diperjual-belikan untuk kebutuhan memunculkan citra-citra inderawi supaya agama pada seseorang itu bisa diakui. Ada semacam konsesus untuk menetukan keberagamaan seseorang dari citra-citra yang dimunculkan. Pakaian-pakaian tertentu disepakati sebagai ketinggian kebergamaan seseorang, sehingga jika kita tidak memenuhi standar tersebut, kita tidak bisa disebut berada pada level keberagamaan tertentu, begitu pula pada kutipan-kutipan yang kita citrakan, juga pada ibadah-ibadah tertentu. Ilmu tidak lagi menjadi dasar penilaian dalam keberagamaan, dari sinilah asal mula runtuhnya peradaban sebuah agama.

Dari semua yang kita bicarakan tadi, tentu kita mengetahui apa yang menjadi perkara yang sudah sangat sekarat, menempati urgensi yang sangat penting dalam agama Islam. Ilmu pengetahuan seharusnya menjadi pembicaraan utama dalam peradaban keagamaan. Kitab-kitab seharusnya dikaji secara mendalam dan dimaknai secara luas. Itulah keramat yang sesungguhnya, mukjizat terbesar yang diwarisi oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ilmu pengetahuan.
               

1 comment: