Hampir
beberapa kali saya mengurungkan niat untuk menulis tulisan ini. Pertama, karena
sejak tadi subuh, 27 Ramadan 1441 H, pikiran saya dipenuhi dengan cerita
seorang teman tentang seseorang yang dikeramatkan oleh masyarakat. Ilmu tasawuf
telah banyak disalahpahami oleh sebagaian besar masyarakat zaman ini. Tasawuf
seolah-olah hanya soal keramat dan punya kekuatan supranatural yang tidak biasa
pada kehidupan sehari-hari manusia. Saya tidak akan bercerita tentang perihal
keramat (karamah atau kemuliaan) tersebut di sini.
Kedua,
saya melihat kecenderungan beragama masyarakat yang fokus pada mencitrakan
tanda-tanda lebih daripada mengalami kedalaman (deepness) memahami
unsur-unsur ilmu pengetahuan yang luas. Masyarakat beragama juga sudah dengan
sangat cepat berpindah dari ibadah yang bersifat gotong-royong kepada ibadah
yang sangat individual (pokoknya saya harus masuk surga, tidak peduli orang
lain). Jikapun muncul pada kenyataan ibadah sosial, iming-iming pahala
individual tetap dominan pada narasinya. Misalnya, ketimbang menyebutkan
"bersama-sama membahagiakan saudara kita", kita lebih senang
menambahkan "supaya kita mendapatkan pahala Ramadan yang berlipat
ganda". Tidak ada salahnya dalam kalimat ini, tapi jika itu terus-menerus muncul,
cara beragama kita akan berubah ke arah yang sangat individual dan
menghilangkan rasa gotong royong terhadap sesama manusia.
Cara
beragama yang sangat indiviual ini (hanya berharap imbalan pahala yang berlipat
ganda) membawa seseorang untuk fokus kepada beribadah sebanyak-banyaknya tanpa
menyisakan waktu untuk memikirkan kedalaman dari ibadah itu sendiri. Shalat
tarawih yang penting ada setiap malam, tanpa keinginan merenung setiap makna
dari ayat dan kalimat yang kita baca di dalamnya. Ini adalah penyebab terbesar
berpindahnya kecenderungan masyarakat dari mengkaji teks-teks ilmu agama dalam turats
maupun kitab kontemporer kepada ritual-ritual ibadah praktis dalam agama.
Kembali kepada keramat tadi. Ketakjuban masyarakat kepada kemampuan
supranatural (disertai dengan acuh terhadap verifikasi keilmuan seseorang) ini
juga disebabkan oleh pengejaran akan pahala individual yang berlipat ganda,
tanpa ingin memulainya dari memahami (belajar) ilmu tentang suatu ibadah
tertentu secara mendalam. Mereka menganggap kemampuan supranatural itu adalah
sesuatu dari hasil dari ibadah individual yang tidak henti-hentinya, dan
menganggap itulah puncak dari keberagamaan seseorang.
***
Selama
lebih kurang dimulai dari sepuluh tahun yang lalu, setiap bulan Ramadan, saya
mengikuti pengajian Tgk H Ismail (Ayah Caleue) di Pesantren Bustanul Ulum
Diniyah Islamiyah Tungkop, Kabupaten Pidie. Tahun pertama saya, saat itu beliau
mengasuh pengajian kita Waraqat (ushul fiqh) dan Idhahul Mubham (mantiq).
Pengajian diikuti oleh santri yang tidak balik ke kampung halaman. Tahun kedua,
beliau mengasuh pengajian kitab tafsir Jalalain dan Minhajul Abidin (Imam
Al-Ghazali). Tahun-tahun berikutnya, setiap Ramadan, beliau terus mengasuh
pengajian kitab Minhajul Abidin ( menggunakan niskhah yang ada
syarahan dari Syeikh Ihsan Dahlan Kediri, Sirajut Thalibin). Hingga
tahun ini kitab itu menjadi pilihan beliau dalam mengajar di bulan Ramadan. Ada
pada suatu Ramadan terselip pengajian kitab Sabilal Muhtadin.
Bukan
tidak menyadari, seorang Tgk H Ismail (berikutnya akan saya sebut Ayah) yang
sehari-harinya mengajar di pondok pesantren yang dipimpinnya itu, tentu saja
paham betul bagaimana kelebihan bulan Ramadan. Beliau memilih untuk mengajar,
sembari mengulang-ngulang kitab Minhajul Abidin setiap tahunnya di bulan
Ramadan, sebagai momentum membersihkan diri. Kitab Minhajul Abidin karya
Imam Al-Ghazali ini boleh dibilang merupakan "buku saku" yang
sepatutnya selalu dilihat kembali oleh orang yang menyukai ibadah kepada Allah
SWT. Karena didalamnya mengandung semacam pengantar untuk mencapai kedalaman
dari beribadah. Pernyataan saya bukan tanpa dasar.
Suatu subuh dalam bulan ini, ketika akhir dari pembahasan didalam sebuah bab 'awa-iq, Ayah berujar, "Kita selalunya membaca peringatan Al-Ghazali akan segala yang menghalangi kita kepada beribadah, tetapi kita selalunya pula tidak mengindahkannya. Tetapi, semoga dengan mengulang-ulang terus pengajian kitab ini, suatu saat kita dapat mengamalkan sepenuhnya ilmu ini". Ucapan Ayah ini menunjukkan secara bersamaan sifat tawadhu'nya terhadap ilmu juga kepada hadirin yang menghadiri pengajian. Bagaimana tidak, beliau membacakan kitab tersebut bukan hanya untuk hadirin, tetapi terutama sekali kepada dirinya sendiri, tanpa ada pengakuan, "semoga ini bermanfaat bagi saya, dan hadirin sekalian". Sekali lagi, Ayah menempatkan diri bersama dengan hadirin dalam upaya membersihkan hati dengan cahaya ilmu pada bulan yang suci.
Suatu subuh dalam bulan ini, ketika akhir dari pembahasan didalam sebuah bab 'awa-iq, Ayah berujar, "Kita selalunya membaca peringatan Al-Ghazali akan segala yang menghalangi kita kepada beribadah, tetapi kita selalunya pula tidak mengindahkannya. Tetapi, semoga dengan mengulang-ulang terus pengajian kitab ini, suatu saat kita dapat mengamalkan sepenuhnya ilmu ini". Ucapan Ayah ini menunjukkan secara bersamaan sifat tawadhu'nya terhadap ilmu juga kepada hadirin yang menghadiri pengajian. Bagaimana tidak, beliau membacakan kitab tersebut bukan hanya untuk hadirin, tetapi terutama sekali kepada dirinya sendiri, tanpa ada pengakuan, "semoga ini bermanfaat bagi saya, dan hadirin sekalian". Sekali lagi, Ayah menempatkan diri bersama dengan hadirin dalam upaya membersihkan hati dengan cahaya ilmu pada bulan yang suci.
Pilihan
tersebut tentu saja tidak membuat kita bisa berasumsi bahwa beliau meninggalkan
berbuat ibadah yang utama di bulan Ramadan, seperti; shalat tarawih dan membaca
Al-Quran.Tetapi memang dari pilihan beliau tersebut dapat kita buat kesimpulan
bahwa ilmu adalah jalan yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah
(beribadah), bahkan ilmu itu sendiri adalah ibadah. Kedalaman (deepness)
beribadah hanya dapat diperoleh dengan cara menuntut ilmu. Mengisi tong-tong
perbekalan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Karena ilmu itu adalah
keramat yang sesungguhnya. Saat masih di sekolah dasar, saya sempat bingung
dengan mukjizat para Nabi. Di saat Nabi lain mempunyai mukjizat yang luar
biasa, Nabi Muhammad SAW yang notabene adalah kekasih Allah hanya disebutkan
mukjizatnya adalah Al-Quran. Sekarang baru saya punya kesimpulan bahwa Al-Quran
yang mengandung ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, merupakan mukjizat yang
luar biasa bagi peradaban umat manusia.
***
Salah
satu dari tanda hilangnya kedalaman dalam beragama adalah tereduksinya
teks-teks dari berbagai ilmu pengetahuan yang seharusnya dipelajari secara
teliti dan seksama kepada kutipan-kutipan singkat (quotes). Ini menjadi
penanda hilangnya kedalaman dalam keberagamaan. Daripada memilih mempelajari
teks-teks tersebut secara utuh dan mengelaborasinya kepada makna yang lebih
luas, kita lebih memilih menjadikannya sebagai nasehat-nasehat semu yang
beredar di media sosial, yang kemudian hilang digantikan oleh kutipan yang
lain. Peredaran kutipan-kutipan tersebut terjadi sangat cepat hingga tidak
dapat dengan lama kita bisa merenungkannya barang sesaat.
Kecepatan
dalam hal ibadah pun terjadi seperti demikian. Saat bulan Ramadan, berbagai
momentum muncul dan dengan sigap kita melaluinya dengan penanda-penanda semu
hingga akhirnya hilang digantikan oleh momentum yang lain. Momentum awal
Ramadan, malam nuzulul Quran, malam Lailatul Qadar, juga i'tikaf pada malam-malam
terakhir bulan Ramadan, hanya dilewati dengan penanda-penanda dalam bentuk
citra untuk menandakan keberadaannya. Tanpa dipahami secara mendalam
momentum-momentum tersebut hingga kita mengalami kedalaman dalam beribadah.
***
Mendekati
hari raya Idul Fitri, ibadah berubah menjadi komoditas yang lebih dangkal. Ia
diperjual-belikan untuk kebutuhan memunculkan citra-citra inderawi supaya agama
pada seseorang itu bisa diakui. Ada semacam konsesus untuk menetukan
keberagamaan seseorang dari citra-citra yang dimunculkan. Pakaian-pakaian
tertentu disepakati sebagai ketinggian kebergamaan seseorang, sehingga jika
kita tidak memenuhi standar tersebut, kita tidak bisa disebut berada pada level
keberagamaan tertentu, begitu pula pada kutipan-kutipan yang kita citrakan,
juga pada ibadah-ibadah tertentu. Ilmu tidak lagi menjadi dasar penilaian dalam
keberagamaan, dari sinilah asal mula runtuhnya peradaban sebuah agama.
Dari
semua yang kita bicarakan tadi, tentu kita mengetahui apa yang menjadi perkara
yang sudah sangat sekarat, menempati urgensi yang sangat penting dalam
agama Islam. Ilmu pengetahuan seharusnya menjadi pembicaraan utama dalam
peradaban keagamaan. Kitab-kitab seharusnya dikaji secara mendalam dan dimaknai
secara luas. Itulah keramat yang sesungguhnya, mukjizat terbesar yang diwarisi
oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ilmu pengetahuan.
Catatan refleksi yang baik sekali
ReplyDelete