Recent Posts

Contributors

Kedua Kali Traveling, Menjadi Orang Aceh Pertama yang Menziarahi Makam Berbatu Nisan Aceh di Melaka (Chapter 9)

Thursday 14 November 2019
Christ Church Melaka


Saya membaca sebuah tulisan yang terpampang di sebuah bangunan berwarna merah dengan salib di ujung dari pada atap gedung. Banyak wisatawan berdiri di depan gedung tersebut untuk mengabadikan diri mereka dalam rekaman lensa kamera atau telepon genggam.

Bang Zam memarkir protonnya di pinggir jalan utama Melaka. Namun tiba-tiba terlihat seorang pria berbaju adat Melayu dari arah depan memberi isyarat kepada Bang Zam untuk langsung mengendarai mobilnya. Rupanya Bang Razi tidak ingin membawa kami singgah di tempat ini.

Bukit Cina, komplek makam warga Tionghoa. Di puncaknya terdapat makam Panglima Pidie


Kami pun mengikuti arahan Bang Razi untuk terus mengemudi di belakang mobilnya. Kemudian mobil berhenti di jalan yang sepi. Di seberang kanan terdapat sebuah perbukitan rendah dengan tinggi sekitar 20 meter. Banyak prasasti yang bertuliskan dengan aksara Mandarin. Sepertinya ini kuburan orang Tionghoa, kenapa tiba-tiba Bang Razi membawa kami ke sini? tanya saya dalam hati.

Rombongan turun dari mobil, kemudian mengikuti Bang Razi untuk naik ke atas bukit. Saya langsung mecari mama. Kami naik paling belakang. Mama harus mengumpulkan tenang untuk menaiki bukit yang dipenuhi dengan kuburan Cina ini. Tanjakan ini berbeda dengan tangga yang terdapat di Batu Caves. Saat di Batu Caves dulu, mama sanggup menaiki puncak sehingga masuk ke Gua tanpa dibantu oleh siapapun. Di bukit ini tidak ada anak tangga sebagai pijakan.

 Makam Panglima Pidie


Saat tiba di atas, kelihatan sebuah makam dengan panjang kira-kira tiga meter. Di sampingnya ada sebuah prasasti bertuliskan keterangan bahwa makam tersebut adalah milik seorang panglima yang berasal jauh dari Melaka. Benar, ini adalah makam panglima Pidie. Panglima yang berangkat bersama Syeikh Syamsuddin As-Sumaterani ke Melaka. Memang di setiap peninggalan sejarah di Melaysia, terdapat sebuah batu yang memberikan keterangan tentang tempat tersebut. Ini menandakan sebuah keseriusan pemerintah Malaysia terhadap tempat atau benda cagar budaya.

Prasasti memuat keterangan Makam Panglima Pidie


Tidak ada yang istimewa dari makam ini. Hanya sejarahnya yang memberikan kekuatan magis beserta kunjungan kami dari tempat asal penghuni pusara. Kami menempuh perjalanan ratusan mil hingga sampai pada tempat dimana pahlawan kami disemayamkan. Mungkin ia tidak pernah diingat oleh orang di tempat di mana ia berasal. Namun Bang Razi merupakan sosok yang membantu kami untuk mengenang kembali jasa-jasanya kepada nusantara.

Al-fatihah...

Saya dikejutkan oleh ucapan Baya. Rupanya lamunan membawa saya hingga ke peristiwa perang antara armada Aceh melawan askar Portugis di Melaka. Setelah selesai membaca doa, kami turun dan melanjutkan perjalanan. Hari sudah mulai sore. Matahari mulai menampakkan warna kuning telur dari arah barat. Kami tidak tahu ke tempat mana selanjutnya Bang Razi akan membawa kami.

Dari dalam mobil saya terus membaca tulisan-tulisan di balkon-balkon ruko kecil sepanjang Melaka. Saya kemudian membaca sebuah penunjuk arah kecil di pinggiran jalan yang bertulis

Makam batu nisan Aceh kuno

Melihat kata-kata Aceh, saya langsung kaget. Melaka ini seperti sebuah negara bagian Kerajaan Aceh sepertinya. Kenapa begitu banyak "Aceh" di sini? Tidak sempat menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba Bang Razi menghampiri mobil kami dan berujar

Kalian adalah orang pertama dari Aceh yang mengunjungi tempat ini

Saya benar-benar tidak percaya dengan perjalanan kali ini. Termasuk dalam genre wisata apa ini? Kami kemudian memasuki sebuah bengkel traktor tua dan melewati bangkai-bangkai mobil tua dan traktor. Sebuah komplek kecil makam terlihat. Seperti biasa, saya langsung menuju prasasti yang tertuliskan keterangan tentang komplek makam ini.

Komplek makam ini milik keluarga bangsawan Melaka, Datok Aroon. Batu nisan Aceh kuno yang ada di komplek makam ini ternyata dipesan langsung dari Aceh dan di kirim melalui kapal laut ke Melaka. Jalinan bisnis internasional antara Aceh dan Melaka ternyata sudah terjalin ratusan tahun yang lalu.

Makam Datok Aron


Di antara semua makam, terdapat sebuah makam yang memiliki tipe batu nisan yang biasa digunakan untuk raja pada makam-makam di Aceh. Makam tersebut adalah milik Datok Aron. Kondisi batu nisan Aceh tersebut masih utuh dengan panjang sejajar dengan dada kami. Tidak ada yang patah sebagaimana pada makam-makam di Aceh.

Sketsa wajah Datok Aron yang terdapat di komplek makam


Kami kemudian bertemu dengan ahli waris keluarg Datok Aron. Beliau sangat berterima kasih kepada kami yang telah jauh-jauhh menziarahi keluarga beliau. Dia meminta untuk didoakan semoga suatu saat bisa berkunjung ke Aceh.

Silsilah keluarga Datok Aron



Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Bang Razi masih ingin membawa kami ke suatu tempat lagi. Kali ini katanya bukan makam. Hanya tempat beristirahat, namun dia yakin kami akan menyukainya. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke arah selatan Melaka, menuju sebuah perkampungan buatan yang menjadi simbol kepahlawanan Hang Tuah bersama teman-temannya.

Bersambung

No comments:

Post a Comment